Senin, 01 November 2010

Selamat Datang Tuan Obama!



Selamat datang Tuan Obama. Sepertinya, Anda masih ragu bahwa kami akan menyambut Anda sebagai tamu dan memperlakukan Anda dengan baik. Betul demikian? Oh, Anda bertanya soal saudara-saudara kami yang menolak kehadiran Anda, Tuan Obama? To the point sekali Anda ini ya! Khas Amerika. Tetapi kami suka itu; sebuah gambaran sikap sangkil dan tak bertele-tele.

Baik, ini tentang mereka yang menolak kehadiran Anda. Ya, tentu saja pasti ada. Sebaik apapun, tak ada manusia di dunia ini yang bisa disukai oleh semua orang. Adalah mustahil untuk menyenangkan semua pihak. Anda tentu memahaminya. Anda pasti pernah merasakannya. Terutama saat rakyat Amerika menentukan pilihan sulit yang akhirnya memenangkan Anda sebagai presiden mereka. Kami tahu, Anda pernah ditentang secara lebih getir dan menyakitkan daripada penolakan ini. Bahkan juga dalam hari-hari ini, di negara Anda sendiri.

Dan inilah negeri kami yang menghormati kebebasan warganya untuk mengungkapkan aspirasi. Inilah negara demokrasi yang dalam banyak hal seringkali jauh lebih demokratis daripada negara Anda, Tuan Obama. Mereka, saudara-saudara kami itu, berdemonstrasi, menggelar acara di mana-mana. Ya. Pemerintah kami pun takkan bisa menghentikan itu, Tuan Obama. Kami orang Indonesia yang jamaknya muslim ini terbiasa menenggang perbedaan, menghargai pendapat sesama, dan merembuk semua soal secara baik-baik dalam musyawarah.

Dalam hal ini, dengan tulus hati kami sampaikan, Amerika memang harus belajar dari Indonesia.

Anda bertanya,”Jadi kalian muslim yang berbeda kelompok? Apakah mereka fundamentalis dan kalian moderat?” Kami katakan tidak, Tuan Obama. Kami muslim, kami bersaudara, dan kami tetap satu barisan. Bagi kami, situasi tak boleh lebih penting daripada hubungan. Situasinya adalah kami berbeda pendapat tentang kehadiran Anda –juga tentang banyak hal yang lain-. Adapun hubungan di antara kami adalah persaudaraan. Untuk Anda fahami, hubungan persaudaraan kami jauh lebih kuat daripada situasi perbedaan pendapat kami itu.

Saya akan membuatnya mudah untuk Anda, Tuan Obama; ini seperti seorang isteri yang tak selalu setuju dan tak selalu menyukai tamu-tamu suaminya. Tapi mereka pantang bercerai jika hanya soal itu. Kedatangan Anda memang membuat kami berbeda pendapat, tetapi jangan ragukan persaudaraan dan ikatan cinta di antara kami. Dan, -maaf jika agak kasar-, jangan coba-coba memecah belah kami.

Tuan Obama, sesungguhnya ada banyak alasan mengapa kami bersedia menyambut dan menerima Anda. Pertama-tama tentu saja karena Anda datang sebagai tamu. Setidaknya itulah yang anda katakan. Nabi kami sungguh berpesan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”

Beliau telah memberi banyak contoh kepada kami Tuan Obama. Beliau berkenan menerima tamu bahkan yang paling tidak menyenangkan sekalipun. Di antara mereka ada ‘Utbah ibn Rabi’ah yang jahat dan suka menyiksa sahabat-sahabat beliau nan lemah. Tapi ketika dia datang sebagai tamu yang hendak bicara, Sang Nabi menerimanya dengan senyum dan tangan terbuka. “Duduklah hai Abul Walid”, sabda beliau menyapanya dengan panggilan kehormatan, “Dan katakanlah segala yang menjadi hajatmu.Aku akan mendengarkan dan menyimaknya.”

Lalu Utbah pun bicara panjang, lebar, tinggi, dan banyak tentang keberatan Quraisy atas da’wah beliau. Setelah sekian lama bicara, Utbah terdiam sementara sang Nabi mengangguk tanda mengerti. “Apakah engkau sudah selesaai atau akan menambah lagi hai Abul Walid?”

“Aku sudah selesai ya Muhammad!”

“Jika demikian, bersediakah engkau mendengarkan apa yang hendak aku sampaikan?”

“Ya.”

Lalu Sang Nabi membacakan untuknya Surat Fushilat, Tuan Obama. Itu salah satu Surat dalam Al Quran yang bicara tentang visi dan misi kenabian beliau dengan nada yang sangat indah. Dan diapun mengerti,bahwa memusuhi Sang Nabi bukanlah pilihan yang bijak. Dia mengatakan kepada Quraisy, “Tinggalkan lelaki ini dengan urusannya. Sesungguhnya kejayaannya akan menjadi kejayaan kalian. Dan jika dia menang, maka bangsa Arab tak lagi membutuhkan kemuliaan selain dirinya.”

Kami tahu Tuan Obama, yang tak bersedia mendengar takkan bisa didengar. Maka kami akan terlebih dahulu mendengarkan Anda. Katakan saja segala yang Anda keluhkan. Kami tahu, bahwa bahkan di negeri Anda, di sekitar Anda, ada begitu banyak penentang yang melawan Anda dalam mewujudkan janji-janji kampanye Anda. Mereka juga menghalangi Anda dengan segala cara setelah Anda bicara di Kairo dan mengucapkan banyak janji pada kami tentang perbaikan hubungan antara Amerika dengan Dunia Islam.

Kami tahu anda orang yang tertekan. Maka bicaralah, kami insyaallah akan mendengarkan Anda. Setelah itu kami akan menyemangati Anda untuk melanjutkan segala yang pernah Anda impikan tentang dunia yang penuh nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Kami tahu itu berat, tapi Anda pernah menjanjikannya pada kami. Janji seorang lelaki terhormat pasti dia junjung tinggi. Begitu bukan Tuan Obama?

Dan sesungguhnya kami juga akan meminta pada Anda beberapa hal yang kami berharap Anda, Tuan Obama, akan mewujudkannya untuk kami. Saudara-saudara kami di Gaza masih terpenjara, Israel masih membantai warganya tiap hari dan membangun pemukiman zhalim di tanah-tanah rampasan. Palestina masih terus berduka. ‘Iraq dan juga Afghanistan, ah, tarik saja tentara Anda dari sana, insyaallah perdamaian justru akan lebih mudah kami wujudkan.

Tuan Obama, banyak sekali yang kami minta Anda untuk mendengarkannya. Tapi biarlah detailnya nanti saja. Sekarang, silakan Anda yang lebih dulu bicara. Kami hormati itu. Dan sekali lagi, anda adalah tamu kami yang harus dijamu dan dimuliakan. Apalagi anda pernah melewatkan masa kecil di negeri ini. Sungguh kurang beradab kalau kami melarang seseorang mengunjungi tempat yang pernah punya makna bagi kehidupannya.

Selamat datang Tuan Obama, kami siap menyambut Anda.

Sayangnya kami juga tak bisa mengelak dari aksioma ‘Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi kami itu. “Musuhmu ada tiga”, ujar beliau empatbelas abad lalu, “Yakni musuhmu sendiri, kawan musuhmu, dan musuh kawanmu.” Kami melihat anda masih akrab dengan musuh kami Israel, dan anda menambah tentara untuk menindas kawan kami di Afghanistan. Sepertinya Anda masih menjadi musuh kami.

Tapi Tuan Obama, musuh yang cerdas lebih berharga daripada kawan yang bodoh. Kami tahu itu. Anda lebih baik masuk kelompok pertama saja daripada menjadi kawan kami tapi malah merepotkan. He he..

Sebagian pihak menganggapAnda sama saja dengan Tuan Bush. Ah, dulu kami menolak kehadiran Tuan Bush. Tapi kini kami menerima Anda. Itu sungguh karena hati kami telanjur berselimut baik sangka kepada Anda. Kami menganggap Anda berbeda dari dia. Ketika Anda berkampanye, ketika anda bicara di Kairo, anda sudah sampaikan itu. Dan kami mencoba percaya. Apalagi karena Amerika juga lebih menghendaki perubahan sehingga memilih Anda. Mereka tidak memilih John McCain, kandidat yang digadang-gadang Tuan Bush.

Kami ingat bahwa leluhur kami yang adil dan pemberani, Shalahuddin Al Ayyubi, memperlakukan Guy de Lusignan dan Reynald de Chattilon dengan cara berbeda. Guy, Raja Yerusalem itu ditawari minuman sejuk, sementara Reynald langsung dipenggal. Maaf, kalau analogi ini agak menyinggung Anda. Tapi Bush bagi kami lebih jahat dari Reynald. Dan, yah, kami tahu, tangan Anda juga masih berlumuran darah saudara-saudara kami di Afghanistan, Iraq, dan tempat-tempat lain meski sepertinya Anda tidak separah Guy de Lusignan.

Wah, saya yakin, Anda pernah menonton Kingdom of Heaven garapan Riddley Scott!

Lagipula, Shalahuddin Al Ayyubi pernah datang ke kemah musuhnya yang lain, Richard The Lionheart, Raja Inggris, untuk mengobati penyakitnya. Padahal Richard pernah memerintahkan pembunuhan 3000 tawanan muslim yang ada di tangannya. Itu sungguh kekejian yang besar. Tapi demikianlah Shalahuddin, pahlawan kami yang agung dan ksatria.

Tuan Obama, dengan menyambut Anda, kami mencoba untuk menjadi pewaris sifat-sifat ksatria dan akhlaq mulia itu, alhamdulillah.

Akhirnya, terimakasih, sudah berkenan berkunjung ke negeri kami. Tanggal 21 Maret, ketika matahari berada tepat di atas khatulistiwa, duapuluh enam tahun, lalu dengan berdarah-darah seorang ibu melahirkan anaknya. Itu perjuangan bertaruh nyawa yang sangat lama Tuan Obama. Sejak konstraksi pertama hingga kelahiran memakan waktu tiga hari. Ibu itu seorang perempuan yang sangat hebat.

Dan anak yang dilahirkan itu adalah saya. Ini ulang tahun syamsiyah saya Tuan Obama, terimakasih berkenan hadir. Saya pasti mengingatnya.

Wah, anda tertawa Tuan Obama. Seakan Anda ingin berkata bahwa yang bicara panjang lebar pada Anda sejak awal tulisan ini ternyata bukan siapa-siapa. Sebenarnya saya bermimpi Tuan Obama. Duapuluh empat tahun dari hari ini, yang menuliskan paragraf-paragraf ini adalah seorang Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri.

Wah, anda tertawa lagi. Ha ha ha..

Jangan menganggapnya mustahil Tuan Obama. Sesungguhnya empatpuluh sembilan tahun lalu rakyat Amerika tak menduga bahwa seorang lelaki dari Kenya yang datang untukmenikahi wanita Amerika lalu meninggalkannya pulang ke Afrika lagi itu sebenarnya datang untuk sebuah misi mahapenting. Dia datang sejenak, hanya dan hanya, untukmenitipkan seorang Presiden bagi Amerika Serikat.

Karena dari wanita itu, Anda lahir Tuan Obama. Itulah Anda, salah satu takdir ajaib untuk sebuah negara adidaya bernama Amerika. Maka selamat datang di negeri keajaiban bernama Indonesia. Selamat datang, Tuan Obama!

Salim A. Fillah
-www.safillah.co.cc-

Sabtu, 24 Juli 2010

Panitia WKTI BEM-U UNESA bersama Shofwan Al-Banna Choiruzzad: Pemenang The 39th St Gallen Symposium, Swiss dan Mawapres Nasional 2006.
-------
All Panitia: Terimakasih, maaf atas segala keterbatasan. Sabar...^^V

Selasa, 13 Juli 2010


Setiap orang tua muslim pasti ingin memiliki anak-anak yang hafal Al-Qur'an dan berprestasi. Apalagi para kader dakwah yang sangat menyadari bahwa keluarga merupakan sasaran dakwah yang kedua; ishlahul usrah, setelah ishlahul fardi. Buku 10 Bersaudara Bintang Al-Qur'an ini merupakan sebuah karya yang –seperti kata Ustadz Yusuf Mansur- akan menginspirasi banyak keluarga di tanah air. Ternyata membesarkan anak di masa sekarang untuk menjadi hafiz Al-Qur'an bukan sesuatu yang mustahil.

Buku ini adalah kisah nyata sebuah keluarga muslim di Indonesia. Keluarga dakwah. Keluarga yang mampu menjadikan 10 orang buah hati mereka sebagai anak-anak yang shalih, hafal Al-Qur'an dan berprestasi. Keluarga luar biasa itu adalah pasangan suami istri Mutammimul Ula dan Wirianingsih beserta 10 putra-putri mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah, kedua orang tua ini tergolong super sibuk dengan berbagai aktifitas dakwahnya. Mutammimul Ula adalah anggota DPR RI dari fraksi PKS. Sedangkan Wirianingsih adalah Staf Departemen Kaderisasi DPP PKS sekaligus Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia dan Ketua Umum PP Salimah (Persaudaraan Muslimah) yang cabangnya sudah tersebar di 29 propinsi dan lebih dari 400 daerah di Indonesia.

10 bersaudara bintang Al-Qur'an itu adalah :

1. Anak Pertama (Sulung)

Afzalurahman Assalam
Putra pertama. Hafal Al-Qur'an pada usia 13 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai pesertaPertamina Youth Programme 2007.

2. Anak Kedua

Faris Jihady Hanifa
Putra kedua. Hafal Al-Qur'an pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz. Saat buku ini ditulis usianya 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariat LIPIA. Peraih juara I lomba tahfiz Al-Qur'an yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.

3. Anak Ketiga

Maryam Qonitat
Putri ketiga. Hafal Al-Qur'an sejak usia 16 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 19 tahun dan duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Sekarang juga menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.

4. Anak Keempat

Scientia Afifah Taibah
Putri keempat. Hafal 29 juz sejak SMA. Kini usianya 19 tahun dan duduk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murottal Al-Qur'an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.

5. Anak Kelima

Ahmad Rasikh 'Ilmi
Putra kelima. Saat buku ini ditulis hafal 15 juz Al-Qur'an, dan duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.

6. Anak Keenam

Ismail Ghulam Halim
Putra keenam. Saat buku ini ditulis hafal 13 juz Al-Qur'an, dan duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.

7. Anak Ketujuh

Yusuf Zaim Hakim
Putra ketujuh. Saat buku ini ditulis ia hafal 9 juz Al-Qur'an dan duduk di SMPIT Al-Kahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.

8. Anak Kedelapan

Muhammad Syaihul Basyir
Putra kedelapan. Saat buku ini ia duduk di MTs Darul Qur'an, Bogor. Yang sangat istimewa adalah, ia sudah hafal Al-Qur'an 30 juz pada saat kelas 6 SD.

9. Anak Kesembilan

Hadi Sabila Rosyad
Putra kesembilan. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an. Diantara prestasinya dalah juara I lomba membaca puisi.

10. Anak Kesepuluh (Bungsu)

Himmaty Muyassarah
Putri kesepuluh. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an.


Buku 10 Bersaudara Bintang Al-Qur'an ini tidak hanya berisi bagaimana putra-putri Mutammimul Ula dan Wirianingsih menjadi penghafal Al-Qur'an. Di bagian pendahuluan terlebih dahulu dibahas Fakta Kemahaagungan Allah Menjaga Kemurnian Al-Qur'an sampai Akhir Zaman. Meliputi pembagian Al-Qur'an, Al-Qur'an sebagai Mukjizat, Sejarah Turunnya Al-Qur'an Kodifikasi Al-Qur'an, sampai Sejarah Pemeliharaan Kemurnian Al-Qur'an.

Pada bab 5 juga dibahas mengapa menjadi hafiz Al-Qur'an begitu penting. Penulis mengklasifikasikann ya menjadi 2 bagian: fadhail dunia dan fadhail akhirat. Fadhail dunia antara lain: hifdzul Qur'an merupakan nikmat rabbani, mendatangkan kebaikan, berkah dan rahmat bagi penghafalnya, hafiz Qur'an mendapat penghargaan khusus dari Nabi (tasyrif nabawi), keluarga Allah di muka bumi. Sedangkan fadhail akhirat meliputi: Al-Qur'an menjadi penolong (syafaat) penghafalnya, meninggikan derajat di surga, penghafal Al-Qur'an bersama para malaikat yang mulia dan taat, diberi tajul karamah (mahkota kemuliaan), kedua orangtuanya diberi kemuliaan, dan pahala yang melimpah.

Apa Kuncinya?
Apa kunci sukses keluarga Mutammimul Ula dan Wirianingsih mendidik 10 bersaudara bintang Al-Qur'an itu? Keseimbangan proses. Walapun mereka berdua sibuk, mereka telah menetapkan pola hubungan keluarga yang saling bertanggungjawab dan konsisten satu sama lain. Selepas Maghrib adalah jadwal mereka berinteraksi dengan Al-Qur'an.

Beberapa hal yang mendukung kesuksesan ini adalah upaya mereka menjaga kondisi ruhiyah dalam keluarga:
1. Tidak ada televisi di dalam rumah
2. Tidak ada gambar syubhat
3. Tidak ada musik-musik laghwi yang menyebabkan lalai kepada Allah dan diganti dengan nasyid
4. Tidak ada perkataan yang fashiyah (kotor)

Hal yang cukup mendasar yang dimiliki keluarga ini sehingga mampu mendidik 10 bersaudara bintang Al-Qur'an adalah visi dan konsep yang jelas, yakni menjadikan putra-putrinya seluruhnya hafal Al-Qur'an. Kedua, pembiasaan dan manajemen waktu. Setelah Shubuh dan setelah Maghrib adalah waktu khusus untuk Al-Qur'an yang tidak boleh dilanggar dalam keluarga ini. Sewaktu masih batita, Wirianingsih konsisten membaca Al-Qur'an di dekat mereka, mengajarkannya, bahkan mendirikan TPQ di rumahnya. Ketiga, mengkomunikasikan tujuan dan memberikan hadiah. Meskipun kebanyakan di waktu kecil mereka merasa terpaksan, namun saat sudah besar mereka memahami menghafal Al-Qur'an sebagai hal yang sangat perlu, penting, bahkan kebutuhan. Komunikasi yang baik sangat mendukung hal ini. Dan saat anak-anak mampu menghafal Al-Qur'an, mereka diberi hadiah.

Diadopsi dari Buku :
Judul Buku : 10 Bersaudara Bintang Al-Qur'an
Penulis : Izzatul Jannah – Irfan Hidayatullah
Penerbit : Sygma Publishing, Bandung
Cetakan Ke : 2
Tahun Terbit : Januari 2010
Tebal Buku : xiv + 150 halaman

Jumat, 11 Juni 2010

Geo 06 A: Ayo, jelaskan maksud pose masing-masing...



Perrsonil Geonesa '06 (hampir) full team..
Hayoo... Siapa saja yang ga' ikut foto..??




Jumat, 07 Mei 2010

Senin, 15 Februari 2010

Jam'ah ibu-ibu meluberi "are' lancor" yang terletak di depan masjid jami' pamekasan(tempat ana biasa lari pagi saat masih SMA) dalam sebuah acara à´…à´—à´®
Assalamu'alaikum semua...
"Ngoceh" di depan 400 MABA FIS dalam seminar Mahasiswa By Bidang III

Minggu, 07 Februari 2010

KUINGIN CINTAKU BERTAUHID ( K.C.Bhid )



Andai ku Halal Untuknya, maka...

Bukan seperti cinta Si Kafir Romeo,
Dan Si Kafir Juliet yang kumau.
Melainkan Cinta yang lurus...
Seperti Milah Ibrahim.
--------------------------
-----------
Aku bukan datang dari dunia GemerlaP ( DUGEM )
Melainkan dari Dunia da'wah GemerlaP ( DAGEM )
Dan Dunia Jihad GemerlaP ( JIGEM )

Aku ingin di Setiap malam-malamku, BertahmiD...
Penuh TauhiD...
Dihiasi Nafas-Nafas Perindu SyahiD...
Yang menentramkanku yang seorang 'AbiD...

Ku tak butuh Musik-musik RomaN...
Karena wajah sang Istri MenyimpaN...
Ribuan Nada-nada Indah MenawaN... (AfI, Cuma serius...^^V)

Ku tak Butuh Novel-Novel Fiksi CintA...
Atau Drama-drama, atau TelenovelA...
Karena Aku & dia, Pemeran UtamA,
Dalam Mega reality drama BerduA...

Bangunkan Aku Untuk Qiyam MalaM...
Meskipun Ditusuk Dingin & Terhalang KelaM...

Menanti Fajar nan GemilanG...
Karna Esok ku harus MenjelanG...
Hari-Hari Nan penuh Kerikil MenghadanG...
Meyakini jutaan OranG...
Bahwa Islam Akan MenanG...

Andai nyata Kisah ini....

Janganlah berakhir Di Meja PengadilaN...
Atau di Tiang GantungaN...

Karena kuingin Berpisah denganmU...
Nanti,Insya Allah Jika ku dapat SyahidkU...

LAA ILAAHA ILLALLAAH

---------------------------------
kisah di atas baru Andai, & Sekarang ku Masih tersiksA...
tapi tak apA.... (he..he.. ini beneran lo....^^V)

Penyair berkata:
Jika siksaan Cinta ini,
Justru Membuat Akhir Nafasku Mengucap Kalimat Tauhid...
Maka Saksikanlah Wahai Ikhwah, BAHWA SIKSAAN CINTA INI INDAH !!!

Ditulis oleh : Knight Of Tawhid

Gun coma agejek maelang sompek.... (Ngerti ga' ya...??)

Rabu, 13 Januari 2010

Ar-Ruhul Jadid


Jika Anda sedang malas, jiwa tengah bablas..

Jika iman sedang futur, semangat tengah luntur..

Jika hati sedang gundah, tubuh terasa lelah,...

Bangun!

Bangkit!

Kepalkan tangan!

Lakukan scotch jump, push up, dan sit up…!!!

Allohuakbar...!!

Bergerak Atau Tergantikan......!!

Selasa, 12 Januari 2010

Karena cintaku padamu.....


Karena cintaku padamu.....
Tak akan kubiarkan cermin hatimu menjadi bura.....
Tak akan kubiarkan telaga jiwamu menjadi keruh.....
Tak akan kubiarkan perisai qolbumu menjadi retak, bahkan pecah.....

Karena cinta ini.....
Ku tak ingin mengusik ketentraman batinmu.....
Ku tak ingin mempesonamu.....
Ku tak ingin membuatmu simpati dan kagum.....
Atau pun menaruh harap padaku.....



Teruntuk Bidadari Berjubah Biruku:
Sabarlah menunggu.....
Yakinlah semua kan nampak indah pada waktunya......

All Abaout TA'ARUF




Assalamu alaikum wr wb,,
Subahannallah,,, Maha suci Allah dengan segala sifat-sifat yang dimiliki-Nya, sehingga kami masih sempat melanjutkan pembahasan ini,

Ikhwan wa Akhwat ayng di rahmati Allah swt,
salah satu pertanyaan yang pertama muncul dari saudara2 kita dan yang paling terakhir saya jawab kali ini adalah :
BAGAIMANA JIKA KITA TERLANJUR PACARAN,,? KALO KITA PUTUSKAN NTAR PACARKU MARAH,,!! DIA PIKIR NANTI AKU UDAH GAK SAYANG SAMA DIA,,!!

wahai saudara(i)ku yang senasib dan seperjungan,,
Jika kalian terlanjur pacaran, dan sanggup untuk menikah,, maka menikahlah secepatnya, dan jika tidak sanggup menikah sekarang,, maka demi Allah yang nyawa kita ada d genggaman-Nya,,!! tinggalkanlah perkara tersebut,,! apakah kalian lebih takut kalo PACARNYA MARAH ATAU ALLAH YANG MURKAH,,,??
pikirkanlah baik,, ^_^

afwan,, hanya itu jawaban singkat dari saya,, ^_^


Adapula perbedaan taaruf dengan pacaran adalah sebagai berikut:

1. Tujuan
• taaruf (t) : mengenal calon istri/suami, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pernikahan.
• pacaran (p) : mengenal calon pacar, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pacaran, syukur-syukur bisa nikah ...

2. Kapan dimulai
• t : saat calon suami dan calon istri sudah merasa bahwa menikah adalah suatu kebutuhan, dan sudah siap secara fisik, mental serta materi.
• p : saat sudah diledek sama teman:"koq masih jomblo?", atau saat butuh temen curhat, atau saat taruhan dengan teman.

3. Waktu
• t : sesuai dengan adab bertamu.
• p : pagi boleh, siang oke, sore ayo, malam bisa, dini hari klo ngga ada yang komplain juga ngga apa-apa.

4. Tempat pertemuan
• t : di rumah sang calon, balai pertemuan, musholla, masjid, sekolahan.
• p : di rumah sang calon, kantor, mall, cafe, diskotik, tempat wisata, kendaraan umum & pribadi, pabrik.

5. Frekuensi pertemuan
• t : lebih sedikit lebih baik karena menghindari zina hati.
• p : lazimnya seminggu sekali, pas malem minggu. Kalo bisa lebih.

6. Lama pertemuan
• t : sesuai dengan adab bertamu
• p : selama belum ada yang komplain, lanjut !

7. Materi pertemuan
• t : kondisi pribadi, keluarga, harapan, serta keinginan di masa depan.
• p : cerita apa aja kejadian minggu ini, ngobrol ngalur-ngidul, ketawa-ketiwi.

8. Jumlah yang hadir
• t : minimal calon lelaki, calon perempuan, serta seorang pendamping (bertiga). maksimal tidak terbatas (disesuaikan adab tamu).
• p : calon lelaki dan calon perempuan saja (berdua). klo rame-rame bukan pacaran, tapi rombongan.

9. Biaya
• t : secukupnya dalam rangka menghormati tamu (sesuai adab tamu).
• p : kalau ada biaya: ngapel, kalau ngga ada absent dulu atau cari pinjeman, terus tempat pertemuannya di rumah aja kali ya? tapi gengsi dong pacaran di rumah doang ?? apa kata doi coba ??

10. Lamanya
• t : ketika sudah tidak ada lagi keraguan di kedua belah pihak, lebih cepat lebih baik. dan ketika informasi sudah cukup (bisa seminggu, sebulan, 2 bulan), apa lagi yang ditunggu-tunggu?
• p : bisa 3 bulan, 6 bulan, setahun, 2 tahun, bahkan mungkin 10 tahun.

11. Saat tidak ada kecocokan saat proses
• t : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan menyebut alasannya.
• p : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan/tanpa menyebut alasannya. Dan pastinya akan ada yang sakit hati,,!

wallahu A'lam,,,

Jumat, 01 Januari 2010

Bisakah Kita Lebih Santun dalam Perbedaan?


Bisakah Kita Lebih Santun dalam Perbedaan?

"sebuah tawaran untuk semua da'i dari semua jama'ah"

Perbedaan di antara ummat kita, dalam berbagai bentuk dan skalanya, memang mempunyai akar historis yang panjang, selain karena ia memang dimungkinkan oleh berbagai muatan ajaran Islam yang lebih terbuka. Perbedaan-perbedaan itu tampaknya harus diakui sebagai sebuah keniscayaan, atau sebuah kenyataan yang tidak dapat kita hindari.

Secara historis, perbedaan-perbedaan dalam pandangan-pandangan aqidah telah melahirkan berbagai mazhab. Ada Ahlussunnah Wal Jamaah yang terbesar, ada Syi'ah dengan berbagai aliran lagi di dalamnya, ada aliran Mu'tazilah yang juga punya pendukung di negeri kita, ada Khawarij dan lain sebagainya. Sementara itu, perbedaan dalam pandangan-pandangan hukum atau fiqh, seperti yang telah kita kenal, juga melahirkan berbagai mazhab. Ada mazhab Hanafi yang tertua yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Asia Tengah, Turki dan Syam, ada mazhab Maliki yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Afrika, ada mazhab Syafi'i yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Asia Tenggara, Mesir dan lainnya, ada mazhab Hambali yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Teluk dan Syam. Sebenarnya masih ada lagi mazhab fiqh lainnya tapi tidak sepopuler keempat mazhab tersebut.

Secara politik perbedaan dalam tubuh ummat mulai tampak sejak meninggalnya Rasulullah Saw dalam peristiwa pemilihan khalifah pengganti beliau. Disusul kemudian oleh peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan, konflik antara Ali dan Mu'awiyah, hingga munculnya khilafah Umayah yang berbasis pada keluarga, dan diikuti ¬kemudian¬ oleh khilafah-khilafah sesudahnya. Bahkan perbedaan dan konflik yang terjadi di antara sesama sahabat Rasulullah Saw itulah yang kemudian menyadarkan banyak ulama akan makna firman Allah Subhaanahu wa ta'ala dalam surat Al-Hujurat: "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Hujurat: 9)

Perbedaan bukan hanya milik ummat Islam. Perbedaan adalah takdir yang ditetapkan untuk seluruh ummat manusia. Perbedaan adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Bahkan sejak perbedaan antara Qabil dan Habil berujung dengan konflik, dan konflik itu berujung dengan pembunuhan Habil oleh Qabil, dan pembunuhan menjadi dosa besar pertama anak cucu Adam, perbedaan dan konflik tampaknya telah menyatu dan kekerasan menjadi mazhab anak cucu Adam dalam penyelesaian konflik.

Dalam sejarah ummat kita, perbedaan-perbedaan itu umumnya terjadi dalam ketiga aspek ini; aqidah, fiqh dan politik. Sebagian dari perbedaan itu berujung dengan konflik, dan sebagian dari konflik itu berujung juga dengan peperangan. Perbedaan ini bersifat laten dalam tubuh ummat kita, tapi cara menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu, antara yang berujung dengan konflik dengan yang tidak berujung dengan konflik, antara konflik yang berujung dengan kekerasan fisik dengan konflik yang tidak berujung dengan kekerasan fisik, selalu berbeda sepanjang sejarah.

Dalam konteks ini kemudian muncul sebuah pertanyaan sejarah: kapankah saatnya perbedaan itu tidak berujung dengan konflik? Dan kapankah saatnya konflik itu tidak mencapai intensitas yang tinggi dan karenanya tidak berujung dengan kekerasan fisik? Apakah yang menyebabkan perbedaan itu tidak berujung dengan konflik, dan konflik itu tidak berujung dengan kekerasan? Apabila kita berhasil menjawab pertanyaan sejarah itu, kita mungkin bisa menjawab sebuah pertanyaan yang agak normatif: bisakah kita membuat perbedaan itu berujung pada kesepakatan dan tidak mengubahnya menjadi sebuah konflik? Atau bisakah kita tetap bekerja sama sementara perbedaan itu tetap ada? Atau bisakah kita melampaui perbedaan-perbedaan itu untuk menangani secara bersama agenda-agenda besar kita? Atau bisakah kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam hal-hal dimana kita berbeda?

Zaman Kematangan

Apabila perbedaan merupakan suatu keniscayaan, maka adalah sia-sia untuk bekerja menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Yang harus digusung agenda-agenda besarnya di tengah berbagai perbedaannya, manakala ummat kita berada pada tingkat kematangannya yang baik. Kematangan itu dapat kita lihat pada tiga sisi; politik, ilmiah dan akhlak.

Kematangan Politik

Kematangan politik berarti bahwa ummat kita mengetahui dan menyadari agenda-agenda besarnya, prioritas-prioritasnya, waspada terhadap ancaman infiltrasi musuh-musuhnya, bersedia mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat sesaat demi kepentingan-kepentingan besar ummat yang bersifat strategis dan jangka panjang.

Kita bisa belajar dari kisah Khalid bin Walid, misalnya. Beliau tentu saja sakit hati ketika Umar bin Khattab memecatnya justru setelah ia memenangkan perang Yarmuk. Tapi ketika seorang provokator menggodanya untuk melakukan pemberontakan terhadap Madinah, dengan menggunakan pasukan yang loyal padanya di sebagian besar wilayah Syam, ia malah menolak keras. Bahkan sebelum wafat, beliau sempat berkata kepada Abud Darda, bahwa semula ia curiga kalau Umar memecatnya karena dendam masa lalu. Tapi setelah ia merenungi peristiwa itu lebih dalam, khususnya selama ia sakit, ia menyadari bahwa pemecatan itu semata-mata didasari oleh keikhlasan, cinta dan kasih sayang Umar kepada dirinya. Tapi apa komentar Umar setelah Khalid wafat? Beliau mengatakan: "Semoga Allah merahmati Khalid, sungguh dia tidak seperti yang kita duga sebelumnya." Begitulah persatuan ummat ini terjaga di tangan orang-orang kuat dan matang seperti mereka.

Kematangan Ilmiah

Kematangan ilmiah berarti bahwa ummat ini mempunyai tradisi pencarian kebenaran yang solid, yang terlihat melalui konsep ijtihad, dan karenanya mereka tidak akan pernah mengatakan sesuatu tanpa landasan ilmu pengetahuan, senantiasa mencari kebenaran dan bukan kemenangan dalam debat, bersiap mengalah untuk kebenaran dan tidak membiarkan hawa nafsunya memenangkan keangkuhan, mau menghargai pikiran orang lain dan bersedia mendengar, tahu kelemahan dirinya dan mengakui kehebabatan orang lain.

Lihatlah bagaimana tradisi ilmiah itu di kalangan para pendiri mazhab. Imam Syafi'i misalnya, suatu saat ikut melakukah shalat subuh di masjid Abu Hanifah di Kufa. Tapi tidak seperti mazhab beliau yang mengharuskan qunut di waktu subuh, saat itu beliau malah tidak qunut mengikuti mazhab Abu Hanifah. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau hanya mengatakan: "Karena aku ingin menghargai laki-laki yang membangun masjid ini." Di lain kesempatan kita menemukan kisah uang juga unik. Iman Syafi'i adalah penemu ilmu Ushul Fiqh. Imam Ahmad bahwa dikatakan tidak pernah mengetahui tentang "Al-'Am Wal Khaash", "Al-Mujmal Wal Mufashshal" dan lainnya, sampai Imam Syafi'i menulis buku Al-Risalah dalam Ushul Fiqh. Tapi kepada Imam Syafi'i pernah kepada Imam Ahmad suatu saat: "Kamu lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah saw daripada diriku, maka nanti jika kamu menemukan satu hadits Rasulullah Saw yang shahih, dan bertentangan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku dan ikutilah hadits Rasulullah Saw, sebab itulah mazhabku."

Di tangan ulama-ulama besar yang ikhlas dan memiliki kedalaman ilmu seperti itulah kita menyaksikan bagaimana perbedaan pendapat dalam fiqh telah menjadi sumber kekayaan ilmiah kita, dan keragaman-keragaman itu berubah menjadi faktor produktivitas yang memicu laju pertumbuhan peradaban Islam. Tapi fanatisme mazhab mulai tumbuh setelah ulama-ulama besar itu wafat, dan bermunculanlah ulama-ulama kecil, yang hanya bisa bertaqlid dan tidak bisa berijtihad, yang hanya memiliki ilmu ala kadarnya tapi bersikap seperti seorang ulama besar. Suatu saat dalam sejarah Islam, fanatisme mazhab itu bahkan sampai pada tingkat dimana mengharamkan pernikahan antara mazhab.

Dan inilah musibah kita saat ini, dimana mimbar-mimba fatwa dikuasai oleh ulama-ulama kecil, yang oleh Syekh Muhammad Al-Ghazali dilukiskan seperti ini: "Ia berangkat meninggalkan rumahnya pada hari Jum'at, dan mulai belajar pada hari Sabtu, lalu kembali lagi ke rumahnya pada Ahad, tapi mulai berfatwa pada hari Senin pagi." Di tangan mereka masalah kecil menjadi sebab percekcokan selama puluhan tahun, orang-orang Islam yang sama-sama bersyahadat dan sama-sama sholat lima waktu serta sama-sama berpuasa di bulan Ramadhan atau bahkan bertemu di depan Ka'bah, justru saling mengkafirkan satu sama lain.

Kematangan Akhlak

Kematangan akhlak berarti bahwa ummat ini mampu melampaui perbedaan-perbedaan diantara mereka, memandang perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah kewajaran yang harus ditoleransi dan diberi ruang dalam kehidupan kolektif kita, serta tidak boleh menjadi penghambat untuk bekerja sama, khususnya di saat kita menghadapi tantangan-tantangan besar, tragedi-tragedi besar, yang mengharuskan kita bersatu padu menghadapinya.

Berbeda dan bekerja sama adalah dua hal yang sebenarnya bisa disatukan manakala kita memiliki kematangan pribadi. Apabila kita mencoba membuat daftar berbagai kelompok Islam, lalu kita catat persamaan dan perbedaan diantara mereka dalam berbagai dimensi, maka kita akan menemukan bahwa ruang kesamaan itu akan jauh lebih luas dibanding ruang perbedaan. Tapi kenapa kita selalu menjadi sumpek dengan perbedaan itu?

Kematangan akhlak seperti itu akan menghilangkan berbagai macam sifat negatif dalam diri kita seperti dendam, iri hati, angkuh, sifat temperamental, senang dipuji untuk hal-hal kecil yang dilakukannya, dan lainnya. Pada waktu yang sama kita menumbuhkan berbagai sifat positif dalam diri kita seperti mendahulukan kerja atas bicara, mengalah untuk hal-hal yang tidak prinsip, lebih banyak bekerja sama dari pada berdebat, menahan diri untuk tidak selalu memenangkan perdebatan, dan lainnya.

Ujung dari kematangan akhlak itu adalah orientasi yang kuat pada amal-amal yang nyata. Saat itu kita akan menyaksikan bahwa hanya kekosongan jiwalah yang biasanya mendorong orang untuk berdebat dan berbeda, dan bahwa orang-orang yang jiwanya dipenuhi dengan semangat kerja akan merasa kekurangan waktu untuk berdebat dan berbeda, karena seluruh energinya telah tersalurkan dalam kerja-kerja yang produktif.

Dalam konteks menjadi lebih produktif secara kolektif itulah Imam Syahid Hasan Al-Banna memperkenalkan prinsip ini: "Kita bekerja sama untuk hal-hal yang telah kita sepakati, dan kita saling toleransi untuk hal-hal yang kita perbedakan."•

(M Anis Matta)